Mereka yang Lebaran bukan di Kampung Halaman
|Saat-saat lebaran adalah waktu ideal untuk berkumpul dengan kerabat keluarga di kampung halaman. Terutama bagi perantau-perantau yang mencari nafkah jauh dari kampung halamannya. Misalnya Riskha, orang Palembang yang menjadi pegawai negeri sipil di Jayapura. Setiap lebaran ia pulang kampung untuk bertemu seluruh anggota keluarganya meskipun harus membeli tiket pesawat seharga puluhan juta. Ada juga Ashgar, mahasiswa asal Ternate yang sedang menuntut ilmu di Jakarta. Lebaran kali ini, ia pulang setelah tahun lalu ia absen lebaran di kampung halaman. Kisah-kisah mereka yang mudik ke kampung halaman memang selalu mengharukan.
Lebaran kali ini, saya tidak mudik ke Klaten karena Dedek Diana masih terlalu ‘merah’ untuk diajak mudik. Akhirnya kami berlebaran di Cikarang, rumah simbahnya Dedek Diana. Rasa sedih sudah pasti terasa saat mendengarkan suara takbir menggema. Namun saya ingat suatu ungkapan bahwa “Jika ingin bersyukur lihatlah orang-orang di bawahmu”. Sesaat saya terbayang orang-orang yang tidak mudik ke kampung halaman seperti saya. Ternyata banyak juga, mulai dari mereka tak punya ongkos pulang sampai mereka yang sudah rutin lebaran di Jakarta karena semua keluarganya sudah diboyong ke Jakarta.
Dari beberapa orang yang saya kenal, memang banyak yang berlebaran di Jakarta karena semua keluarganya sudah menetap di Jakarta. Mulai dari cucu sampai kakek-neneknya sudah tinggal di Jakarta, sehingga Jakarta seolah sudah menjadi kota kampung halaman. Ada juga keluarga kecil yang tak mudik karena tidak ingin terjebak macetnya jalur pantura. Mereka lebih memilih mudik di luar waktu lebaran, misalnya di saat liburan akhir tahun. Jika ditanya “apakah tidak kangen kampung halaman saat lebaran?”, mereka pasti merasa sedih meskipun kadang tak terucapkan.
Seorang teman pernah bercerita tentang pengalamannya ketika sudah tidak mudik selama lima tahun. Ketika malam takbiran, ia tiba-tiba merasa sedih yang berlebih. Rasa rindu pada orangtua dan kampung halaman sudah tak tertahankan. Akhirnya saat itu juga ia pulang dengan memacu sepeda motornya sendirian. Lebaran bukan di kampung halamannya sendiri memang sungguh terasa, begitulah yang saat ini saya rasakan. Namun ternyata ada yang lebih ‘menderita’ dibandingkan saya. Setiap kali melihat mereka yang harus tetap bekerja di saat lebaran, saya kembali merasa tersentuh. Di saat orang berkumpul di kampung halaman, mereka ini harus tetap mencari nafkah.
Saya perhatikan banyak juga yang masih bekerja saat lebaran. Lihatlah di televisi, mereka yang tetap bekerja saat lebaran antara lain polisi lalu lintas, sopir, masinis, nahkoda, pilot, dan semua orang yang umumnya bekerja di bidang transportasi. Saya selalu menaruh hormat pada mereka yang tetap bekerja sepenuh hati meskipun mereka sebenarnya punya hak yang sama untuk mudik ke kampung halaman. Mereka semua yang melayani para pemudik di terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandara dengan sopan dan penuh keramahan pantas menerima penghargaan.
Menurut saya, masih mending saya yang lebaran di kampung halaman orang daripada mereka yang lebaran di tempat kerja. Salam hormat saya untuk mereka.
Masih mending aku, bisa ngucapin, “Selamat Idul Fitri’ pada yang empunya blog ini sekeluarga! 🙂
Terima kasih, Mbah.
Mohon maaf lahir bathin nggih.. 🙂
Oya saya selalu menaruh rasa hormat pada blogger yang tetap bekerja saat lebaran tiba, meskipun postingannya galau. 🙂
Tahun kemarin saya malam takbiran sendirian di jakarta rasanya remuk redam
Wuih remuk redam? Seperti yang saya rasakan..
Tahun ini pulang kampung kan? Kampungnya dimana?
saia lumayan lama di kampung ne mas,
maklum pengangguran… 😀
yang agak refot di sini [di deket kaki gunung lawu] dingiiin banget, kontras dengan semarang yang memang hoot banget, dan internetnya lemoooot…
#soengeng riyadi nggih mas, nyuwun pangapunten saking kalepatan…
Asline Karanganyar to, Mas?
Wah kapan-kapan pengen ndaki Lawu lagi nih..
Karena sebuah tanggung jawab, lebaran ini saya juga masih kerja je mas 🙂
eh met lebaran ya mas gie., minal aidin walfaidzin 🙂
Wah salam hormat dan salut saya karena Mas Ichsan tetap bekerja selama lebaran..
Sampai sekarang saya masih bertanya2, kenapa harus mudik? Padahal mudik lebih dekat dengan penghabisan dana. Banyak yang hidupnya pas2an tapi tetap bersikukuh pulang, bukankah ini jadi beban dan ujung2nya dinilai sebagai suatu ‘dosa’?
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
ketika akhir Ramadhan berlalu berganti fajar Syawal, izinkanlah saya mengucapkan salam dan doa,
Taqobalallahu minna wa minkum wa ja’alanallahu minal aidin wal faizin
Semoga ALLAH menerima amalan-amalan yang telah aku dan kalian lakukan ,
dan semoga ALLAH menjadikan kita termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah dan mendapat kemenangan,
SELAMAT MERAYAKAN HARI RAYA KEMENANGAN IDUL FITRI,
bila ada salah dan khilaf selama ini, baik yang disengaja atau tidak disengaja, mohon dimaafkan lahir dan bathin,
salam hangat dari Makassar
Wassalam
Alhamdulillah tahun ini saya masih diberi kesempatan mudik ke kampung halaman
Kalo saya sudah bertahun-tahun takmemiliki pengalaman mudik, paling jauh itu perjalanan Soreang (tempat tinggal saya saat ini) ke Bandung (orangtua saya saat bujang) sejauh 25 km yang bila takmacet hanya memakan 1 jam perjalanan menggunakan motor …Setuju mas, mending berlebaran di kampung halaman orang daripada mereka yang lebaran di tempat kerja 🙂
Selamat lebaran meski tidak di kampung halaman…
Nanti kalau Jokowi menang, ibukota akan pindah ke Solo jadi deket Klaten
Hahhaaa..
Klaten jadi kota wisata nantinya. 🙂
woh iya, tuntutan profesi itu kang… memang konsekuensi mengabdi untuk pelayanan jasa..
semoga mereka mendapatkan balasan yang setimpal…
Baru sekali lebaran di kota orang, rasanya sudah tidak karuan. Dan saya setuju dengan mas Gie, lebih baik lebaran bukan di kampung halaman dari pada lebaran di tempat kerja 🙂
Waktu itu lebaran di mana, Mas?
Ngenes memang..
wah tidak mudik… ini juga sama seperti kejadian dua tahun lalu… waktu anak saya baru lahir.. juga tidak pulang kampung seperti biasanya… semoga tahun depan sudah bisa pulang kampung ya…. 🙂 salam.
Wah saya kalah waktu dua tahun nih, Bro. 🙂
angkat topi untuk mereka, semoga selalu diberikan semangat, berkah ramadhan dan lebaran 🙂
Wah , aku juga liburan di rumah pas lebaran ini, disini adalah kampung ku.
makanya gak perlu mudik
selamat lebaran bang gi..
mohon maaf lahir dan batin
saya belum pernah merasakan sensasi mudik mas, hihi bukan/belum perantau 🙂
Gak usah jauh2 sih mas, pembawa berita di TV pun lebaran gak ikutan mudik ke kampung halaman 😀
Saya juga salut sih buat mereka, punya etos kerja yang tinggi 🙂
Iya ya, wartawan dan reporter kayaknya standby terus.
bruntung saya dapat lbr dg sluruh keluarga
Wah saya beruntung masih bisa berlebaran dirumah, tempat kerja mulai mendekat dg rumah..
oya minal aidzin wal faidzin mohon maaf lahir & batin ya mas Gie & keluarga..
Lebaran hawanya emang pulang kampung terus. Perantauan di luar Jawa yg sudah berkeluarga, akan menghadapi dilema…
Aduh saya jadi terharu, Mas..
alhamdulillah aya bisa mudik walau sudah mepet malam takbiran
niatkan mudik untuk silaturahmi, jadi ibadah
bapak aku juga gitu mas.. karena kerjanya di fery penyebrangan ASDP, jadinya kalau pas kena shifnya ya tetep kerja..
ya, bener-bener bersyukur kerja di kantoran yang bisa ambil ijin dan cuti yak, kalau jasa transportasi emang susah deh kayaknya untuk libur (eh dan kesehatan ding)
iya betul, kalau yg lebaran dan masih bekerja itu luar biasa deh ya. aku juga salut. 🙂 kebayang kalau para masinis dan para penjaga pintu kereta itu gimana capeknya pas lebaran.
oiya, selamat lebaran ya 🙂
lebaran tahun ini makin rame ya mas…
soalnya ada suara tangis dedek diana…:)
sama, Mas. aku juga memberi hormat kepada mereka SPG dan SPB disaat takbir berkumandang dimana yang lain kumpul dan bercengkrama dengan keluarga, mereka masih bekerja hingga larut malam.
Iya, semoga kita bisa menaruh rasa hormat pada mereka yang memiliki dedikasi sekeren itu..
selamat lebaran ya Gie dan Isnuansa dan dedek Diana jugaaa….
slamat hari raya idul firti semua nya
mohon maaf lahir batin ya Mas